Konflik dan Pergolakan yang Berkait dengan Sistem Pemerintahan
Konflik dan Pergolakan yang
Berkait dengan Sistem Pemerintahan
a.
Pemberontakan
PRRI dan Permesta
Munculnya
pemberontakan PRRI dan Permesta bermula dari adanya persoalan di dalam tubuh
Angkatan Darat, berupa kekecewaan atas minimnya kesejahteraan tentara di
Sumatera dan Sulawesi. Hal ini mendorong beberapa tokoh militer untuk menentang
Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Persoalan kemudian ternyata malah meluas
pada tuntutan otonomi daerah. Ada ketidakadilan yang dirasakan beberapa tokoh
militer dan sipil di daerah terhadap pemerintah pusat yang dianggap tidak adil dalam
alokasi dana pembangunan. Kekecewaan tersebut diwujudkan dengan pembentukan
dewan-dewan daerah sebagai alat perjuangan tuntutan pada Desember 1956 dan
Februari 1957, seperti :
1)
Dewan
Banteng di Sumatra Barat yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein.
2)
Dewan
Gajah di Sumatra Utara yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolan.
3)
Dewan
Garuda di Sumatra Selatan yang dipimpin oleh Letkol Barlian.
4)
Dewan
Manguni di Sulawesi Utara yang dipimpin oleh Kolonel Ventje Sumual.
Dewan-dewan
ini bahkan kemudian mengambil alih kekuasaan pemerintah daerah di wilayahnya
masing-masing. Beberapa tokoh sipil dari pusatpun mendukung mereka bahkan
bergabung ke dalamnya, seperti Syafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap dan
Mohammad Natsir.
KSAD
Abdul Haris Nasution dan PM Juanda sebenarnya berusaha mengatasi krisis ini
dengan jalan
musyawarah, namun gagal. Ahmad Husein lalu mengultimatum pemerintah pusat, menuntut
agar Kabinet Djuanda mengundurkan diri dan menyerahkan mandatnya kepada presiden.
Tuntutan tersebut jelas ditolak pemerintah pusat. Krisispun akhirnya memuncak
ketika pada tanggal 15 Februari 1958 Achmad Hussein memproklamasikan berdirinya
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Padang, Sumatera Barat.
Seluruh dewan perjuangan di Sumatera dianggap mengikuti pemerintahan ini.
Sebagai perdana menteri PRRI ditunjuk Mr. Syafruddin Prawiranegara.
Bagi
Syafruddin, pembentukan PRRI hanyalah sebuah upaya untuk menyelamatkan negara
Indonesia, dan bukan memisahkan diri. Apalagi PKI saat itu mulai memiliki
pengaruh di pusat. Tokoh-tokoh sipil yang ikut dalam PRRI sebagian memang berasal
dari partai Masyumi yang dikenal anti PKI. Berita proklamasi PRRI ternyata
disambut dengan antusias pula oleh para tokoh masyarakat Manado, Sulawesi
Utara. Kegagalan musyawarah dengan pemerintah, menjadikan mereka mendukung
PRRI, mendeklarasikan Permesta sekaligus memutuskan hubungan dengan pemerintah
pusat (kabinet Juanda).
Pemerintah
pusat tanpa ragu-ragu langsung bertindak tegas. Operasi militer dilakukan untuk
menindak pemberontak yang diam-diam ternyata didukung Amerika Serikat. AS
berkepentingan dengan pemberontakan ini karena kekhawatiran mereka terhadap pemerintah
pusat Indonesia yang bisa saja semakin dipengaruhi komunis. Pada tahun itu juga
pemberontakan PRRI dan Permesta berhasil dipadamkan.
b.
Persoalan
Negara Federal dan BFO
Konsep
Negara Federal dan “Persekutuan” Negara Bagian (BFO/Bijeenkomst Federal
Overleg) mau tidak mau menimbulkan potensi perpecahan di kalangan bangsa
Indonesia sendiri setelah kemerdekaan. Persaingan yang timbul terutama adalah
antara golongan federalis yang ingin bentuk negara federal dipertahankan dengan
golongan unitaris yang ingin Indonesia menjadi negara kesatuan.
Dalam
konferensi Malino di Sulawesi Selatan pada 24 Juli 1946 misalnya, pertemuan
untuk membicarakan tatanan federal yang diikuti oleh wakil dari berbagai daerah
non RI itu, ternyata mendapat reaksi keras dari para politisi pro RI yang ikut
serta. Mr. Tadjudin Noor dari Makasar bahkan begitu kuatnya mengkritik hasil
konferensi.
Perbedaan
keinginan agar bendera Merah-Putih dan lagu Indonesia Raya digunakan atau tidak
oleh Negara Indonesia Timur (NIT) juga menjadi persoalan yang tidak bisa
diputuskan dalam konferensi. Kabinet NIT juga secara tidak langsung ada yang
jatuh karena persoalan negara federal ini (1947).
Dalam
tubuh BFO juga bukan tidak terjadi pertentangan. Sejak pembentukannya di
Bandung pada bulan Juli 1948, BFO telah terpecah ke dalam dua kubu. Kelompok pertama
menolak kerjasama dengan Belanda dan lebih memilih RI untuk diajak bekerjasama
membentuk Negara Indonesia Serikat. Kubu ini dipelopori oleh Ide Anak Agung Gde
Agung (NIT) serta R.T. Adil Puradiredja dan R.T. Djumhana (Negara Pasundan).
Kubu kedua dipimpin oleh Sultan Hamid II (Pontianak) dan dr. T. Mansur
(Sumatera Timur). Kelompok ini ingin agar garis kebijakan bekerjasama dengan
Belanda tetap dipertahankan BFO. Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer
II-nya, pertentangan antara dua kubu ini kian sengit. Dalam sidang-sidang BFO
selanjutnya kerap terjadi konfrontasi antara Anak Agung dengan Sultan Hamid II.
Dikemudian hari, Sultan Hamid II ternyata bekerjasama dengan APRA Westerling
mempersiapkan pemberontakan terhadap pemerintah RIS.
Setelah
Konferensi Meja Bundar atau KMB (1949), persaingan antara golongan federalis
dan unitaris makin lama makin mengarah pada konflik terbuka di bidang militer, pembentukan
Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) telah menimbulkan masalah
psikologis. Salah satu ketetapan dalam KMB menyebutkan bahwa inti anggota APRIS
diambil dari TNI, sedangkan lainnya diambil dari personel mantan anggota KNIL.
TNI sebagai inti APRIS berkeberatan bekerjasama dengan bekas musuhnya, yaitu
KNIL. Sebaliknya anggota KNIL menuntut agar mereka ditetapkan sebagai aparat
negara bagian dan mereka menentang masuknya anggota TNI ke negara bagian
(Taufik Abdullah dan AB Lapian, masuknya anggota TNI ke negara bagian (Taufik
Abdullah dan AB Lapian, 2012.). Kasus APRA Westerling dan mantan pasukan KNIL
Andi Aziz sebagaimana telah dibahas sebelumnya adalah cermin dari pertentangan
ini.
Namun
selain pergolakan yang mengarah pada perpecahan, pergolakan bernuansa positif
bagi persatuan bangsa juga terjadi. Hal ini terlihat ketika negara-negara
bagian yang keberadaannya ingin dipertahankan setelah KMB, harus berhadapan
dengan tuntutan rakyat yang ingin agar negaranegara bagian tersebut bergabung
ke RI.
Komentar
Posting Komentar